Di dalam Al-Quran Allah
Swt. menyatakan Akad Nikah dengan sebutan mîtsâqun ghalîzh (janji yang berat).
Padahal kata mîtsâqun ghalîz ini sendiri di dalam Al-Quran disebutkan hanya tiga
kali.
Pertama, untuk akad
pernikahan (An-Nisâ: 21).
Kedua, perjanjian
antara para nabi dengan Tuhan mereka, untuk menyampaikan risalah Allah, seperti
yang difirmankan Allah dalam surat Al-Ahzâb ayat 7. Kemudian dalam ayat
kedelapan Allah menjelaskan bahwa janji ini adalah untuk menguji siapa yang
sungguh-sungguh dalam menepatinya.
Ketiga, janji Bani
Israil terhadap Allah Swt. untuk mengemban risalah tauhid di atas dunia. Janji
yang karenanya Allah mengangkat gunung untuk ditimpakan di atas kepala Bani Israil
sebagai ancaman bagi mereka yang tidak mau menepati janji. Namun mereka
kemudian tidak menepati janji, sehingga mendapatkan laknat dari Allah Swt.. (
Anisa ayat 154 )
Pernyataan bahwa akad
nikah adalah mîtsâqun ghalîzh, tentunya mengisyaratkan bahwa hubungan suami
isteri yang merupakan hubungan yang berkonsekuensi besar seperti konsekuensi
janji para nabi dan bani Israel di atas. Siapa saja yang menepati janji itu,
maka dia tergolong orang yang jujur dan benar serta berada dalam jalan yang
lurus. Sedangkan siapa yang tidak menepatinya, dalam arti tidak menjalan hak
dan kewajiban yang merupakan kosekuensi dari akad tersebut, maka ia pantas
mendapatkan laknat Allah Swt.
Bahwa suami memiliki
hak terhadap isterinya, dan hak-hak suami adalah kewajiaban bagi isteri, maka
isteri harus mengetahui apa saja hak-hak suami terhadapnya. Di antara hak yang
paling dibutuhkan oleh suami dari isterinya adalah, sikap menghormati dan
mengakui kebaikan suami. Di dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menjelaskan
bahwa salah satu di antara sebab utama yang menjadikan sebagian besar isi
neraka adalah kaum hawa adalah karena mereka tidak pandai berterimakasih dan
sering mengingkari kebaikan suaminya.
Isteri sebagai patner
hidup memiliki hak-hak yang menjadi kewajiban bagi suami. Sebagai suami ia
harus mengetahui dengan baik hak-hak isterinya. Ia harus memahami untuk apa ia
menikah. Ia harus mengetahui kekhususan dan fitrah yang Allah ciptakan bagi
perempuan yang banyak berpengaruh terhadap sikap dan tindakannya, sehingga
dengan demikian seorang sang suami dapat berlapang dada dan mengerti bagaimana
harus bersikap terhadap isterinya, tidak gegabah dalam bertindak.
Semoga bermanfaat.
Allahumma sholi ala Muhammad wa ali Muhammad.